Dunia yang kita tempati, dengan segala gemerlap, kekayaan, dan hiruk pikuknya, seringkali terasa begitu nyata dan abadi. Namun, dalam banyak ajaran spiritual, khususnya Islam, dunia ini diibaratkan sebagai “bayangan” (zhil), sebuah analogi filosofis yang mendalam tentang kefanaan dan prioritas hidup.
Analogi ini diperkuat oleh petuah bijak ulama besar seperti Ibnu Qayyim Al-Jauziyah:
“Dunia ini ibarat bayangan. Jika engkau kejar dia, engkau tidak akan dapat menangkapnya. Namun, jika engkau balikkan badanmu darinya, dia tak punya pilihan lain kecuali mengikutimu.”
Membedah Makna Filosofis “Bayangan”
Analogi dunia sebagai bayangan mengajarkan kita tiga pelajaran mendasar:
1. Kefanaan dan Ketidakmampuan Digenggam
Sebuah bayangan adalah entitas yang ada namun tidak memiliki substansi. Ia tidak bisa ditangkap, dipegang, atau dimiliki secara hakiki. Semakin keras kita berusaha menggenggam bayangan, semakin ia luput.
Makna Duniawi: Semakin seseorang bernafsu mengejar harta, kekuasaan, dan kenikmatan duniawi semata, ia akan semakin merasa hampa dan kurang. Keinginan dunia tidak pernah terpuaskan; ia bagaikan minum air laut, semakin diminum semakin haus. Harta yang kita kumpulkan hanya bersifat sementara dan akan ditinggalkan saat kematian menjemput.
2. Ketergantungan pada Sumber Cahaya
Bayangan hanya bisa muncul jika ada sumber cahaya, dalam hal ini, matahari. Jika kita mengejar bayangan, kita membelakangi matahari, dan jarak kita dari sumber cahaya semakin jauh.
Makna Spiritual: Sumber cahaya sejati adalah Akhirat dan ridha Allah SWT. Ketika kita memprioritaskan akhirat (sumber cahaya) —dengan beribadah, berbuat baik, dan berpegang teguh pada syariat— maka secara otomatis dunia (bayangan) akan mengikuti kita. Kebutuhan duniawi kita akan dicukupi oleh Allah sebagai bonus atas fokus kita pada tujuan abadi.
3. Prioritas Hidup yang Benar
Filosofi ini mengajarkan kita tentang penempatan hati. Hati seorang mukmin harus tertuju pada yang abadi, yaitu kehidupan akhirat, sementara dunia hanyalah sarana atau jembatan untuk mencapainya.
Allah SWT berfirman:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi…” (QS. Al Qashash: 77)
Ayat ini menyimpulkan keseimbangan yang ideal: berjuanglah untuk akhirat sebagai prioritas utama, tetapi jangan sampai melalaikan peran kita di dunia. Dunia harus diurus, tetapi sebagai alat, bukan tujuan akhir.
Praktik Hidup “Mengejar Cahaya”
Jika dunia adalah bayangan, maka tugas kita adalah membalikkan badan dan menghadap sumber cahaya. Berikut adalah cara praktis menerapkan filosofi ini:
- Ubahlah Niat (Ikhlas): Lakukan setiap aktivitas duniawi (bekerja, belajar, berbisnis) dengan niat untuk beribadah dan mencari ridha Allah. Dengan niat yang benar, pekerjaan dunia berubah menjadi amalan akhirat.
- Investasi Abadi: Prioritaskan investasi yang tidak akan hilang, yaitu amal jariyah (sedekah, ilmu yang bermanfaat), dibandingkan investasi yang fana (harta semata).
- Sikap Qana’ah (Merasa Cukup): Belajarlah untuk merasa puas dengan rezeki yang dimiliki. Orang yang hatinya kaya adalah orang yang telah dikuasai dunia (bayangan) karena ia tidak lagi mengejarnya.
Pada akhirnya, hidup yang bahagia adalah hidup yang mampu menempatkan dunia (bayangan) pada tempatnya: ia adalah sarana yang akan mengikuti kita, bukan tujuan fana yang mati-matian kita kejar hingga melupakan kebahagiaan yang abadi.