Yayasan Giat Aksi Sejahtera

Logo gas PNG
lingkungan kerja

“Quiet Quitting” dan “Loud Laziness”: Membedah Fenomena di Tempat Kerja dan Kunci Keseimbangan Hidup

Dunia kerja modern terus memunculkan istilah-istilah baru yang mencerminkan pergeseran nilai dan dinamika antara karyawan dan perusahaan. Dua di antaranya yang cukup menarik perhatian adalah “quiet quitting” dan “loud laziness”. Meskipun mungkin terdengar serupa, keduanya merujuk pada fenomena yang berbeda dengan akar masalah dan dampak yang juga tak sama. Memahami keduanya menjadi krusial bagi perusahaan untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan bagi karyawan untuk menemukan keseimbangan yang tepat antara kehidupan profesional dan pribadi.

Apa Itu “Quiet Quitting”? Bekerja Sesuai Aturan, Bukan Berhenti Diam-diam

Istilah “quiet quitting” atau “berhenti dalam senyap” menjadi viral di media sosial, namun maknanya seringkali disalahpahami. Quiet quitting bukan berarti karyawan berhenti dari pekerjaannya. Sebaliknya, ini adalah sebuah pendekatan di mana karyawan memilih untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan deskripsi tugas mereka, tidak lebih dan tidak kurang. Mereka menolak untuk terjebak dalam “hustle culture” atau budaya gila kerja yang menuntut mereka untuk selalu bekerja lembur, mengambil tanggung jawab tambahan di luar pekerjaan utama tanpa kompensasi yang sepadan, dan selalu tersedia setiap saat.

Karyawan yang melakukan quiet quitting tetap masuk kerja tepat waktu, menyelesaikan tugas-tugas mereka, namun mereka menetapkan batasan yang jelas. Mereka tidak lagi bersedia mengorbankan waktu pribadi, kesehatan mental, dan kehidupan sosial mereka demi pekerjaan.

Akar Masalah “Quiet Quitting”

Fenomena ini muncul sebagai reaksi terhadap berbagai faktor, di antaranya:

  • Kelelahan (Burnout): Beban kerja yang berlebihan dan tekanan yang terus-menerus dapat menyebabkan kelelahan fisik dan emosional yang mendalam.
  • Kurangnya Apresiasi: Karyawan merasa kerja keras dan kontribusi ekstra mereka tidak dihargai atau diakui oleh atasan maupun perusahaan.
  • Kompensasi yang Stagnan: Tuntutan pekerjaan meningkat, namun tidak diimbangi dengan kenaikan gaji atau tunjangan yang layak.
  • Ketidakseimbangan Kehidupan Kerja: Banyak karyawan, terutama generasi muda, yang mulai memprioritaskan kesehatan mental dan waktu untuk kehidupan pribadi di luar pekerjaan.
  • Manajemen yang Buruk: Kurangnya dukungan, komunikasi yang tidak efektif, dan kepemimpinan yang toksik dapat memicu karyawan untuk menarik diri secara emosional dari pekerjaan mereka.

“Loud Laziness”: Sebuah Spekulasi tentang Kemalasan yang Terang-terangan

Berbeda dengan quiet quitting yang memiliki banyak sumber dan pembahasan, istilah “loud laziness” atau “kemalasan yang bersuara” tidak begitu dikenal dan belum menjadi sebuah fenomena yang terdefinisi secara luas di dunia kerja. Namun, jika diartikan secara harfiah dan sebagai kebalikan dari quiet quitting, “loud laziness” dapat diinterpretasikan sebagai sikap karyawan yang secara terang-terangan menunjukkan keengganan untuk bekerja, bahkan untuk tugas-tugas pokok mereka.

Jika quiet quitting adalah tentang menetapkan batasan secara diam-diam, maka “loud laziness” bisa jadi merupakan bentuk protes yang lebih vokal dan pasif-agresif. Ini mungkin termanifestasi dalam perilaku seperti:

  • Secara terbuka mengeluhkan beban kerja.
  • Sengaja menunda-nunda pekerjaan.
  • Menunjukkan sikap tidak peduli terhadap kualitas pekerjaan.
  • Aktif menyuarakan ketidakpuasan tanpa memberikan solusi.

Penting untuk digarisbawahi bahwa “loud laziness” lebih bersifat spekulatif dan belum menjadi sebuah konsep yang mapan. Namun, kemunculan ide ini menyoroti adanya spektrum tingkat keterlibatan karyawan, dari yang sangat proaktif hingga yang secara aktif menunjukkan penolakan.

Dampak pada Lingkungan Kerja

Baik quiet quitting maupun potensi adanya “loud laziness” dapat memberikan dampak signifikan bagi perusahaan:

  • Penurunan Produktivitas dan Inovasi: Karyawan yang hanya bekerja sebatas deskripsi pekerjaan mungkin tidak akan memberikan ide-ide baru atau upaya ekstra yang mendorong inovasi.
  • Menurunnya Moral Tim: Sikap tidak bersemangat dari satu atau beberapa karyawan dapat menular dan mempengaruhi semangat kerja seluruh tim.
  • Peningkatan Angka Pergantian Karyawan (Employee Turnover): Quiet quitting seringkali menjadi fase sebelum seorang karyawan benar-benar memutuskan untuk mengundurkan diri.
  • Budaya Kerja yang Stagnan: Lingkungan di mana karyawan tidak merasa termotivasi untuk berkembang akan menghambat pertumbuhan perusahaan secara keseluruhan.

Jalan Menuju Keseimbangan: Strategi untuk Perusahaan dan Karyawan

Mengatasi fenomena ini memerlukan pendekatan dua arah, baik dari sisi perusahaan maupun dari sisi karyawan itu sendiri.

Untuk Perusahaan:

  1. Fokus pada Keterlibatan Karyawan (Employee Engagement): Ciptakan lingkungan di mana karyawan merasa didengar, dihargai, dan memiliki tujuan yang jelas. Lakukan survei keterlibatan secara rutin dan tindak lanjuti hasilnya.
  2. Tinjau Kembali Beban Kerja dan Kompensasi: Pastikan bahwa beban kerja yang diberikan realistis dan kompensasi yang ditawarkan kompetitif serta sepadan dengan kontribusi karyawan.
  3. Promosikan Keseimbangan Kehidupan Kerja: Dorong karyawan untuk mengambil cuti, hindari menghubungi mereka di luar jam kerja untuk hal-hal yang tidak mendesak, dan berikan fleksibilitas kerja jika memungkinkan.
  4. Latih Manajer untuk Menjadi Pemimpin yang Lebih Baik: Manajer yang suportif, komunikatif, dan mampu memberikan umpan balik yang membangun adalah kunci untuk menjaga motivasi tim.
  5. Berikan Ruang untuk Pertumbuhan: Tawarkan kesempatan pengembangan karier dan pelatihan agar karyawan merasa memiliki masa depan di perusahaan.

Untuk Karyawan:

  1. Tetapkan Batasan yang Sehat: Komunikasikan dengan jelas jam kerja Anda dan kapan Anda bisa dihubungi. Jangan ragu untuk mengatakan “tidak” pada tugas tambahan jika beban kerja Anda sudah maksimal.
  2. Atur Prioritas Pekerjaan: Fokus pada tugas-tugas yang paling penting dan mendesak. Gunakan teknik manajemen waktu untuk bekerja lebih efisien, bukan lebih lama.
  3. Ambil Waktu untuk Istirahat: Manfaatkan waktu istirahat dan cuti Anda sepenuhnya untuk memulihkan energi dan melakukan hal-hal yang Anda sukai di luar pekerjaan.
  4. Komunikasi Terbuka dengan Atasan: Jika Anda merasa terbebani atau tidak termotivasi, bicarakan secara profesional dengan atasan Anda. Seringkali, solusi dapat ditemukan melalui dialog yang jujur.
  5. Temukan Makna dalam Pekerjaan: Cobalah untuk melihat bagaimana pekerjaan Anda berkontribusi pada tujuan yang lebih besar, baik bagi perusahaan maupun bagi diri Anda sendiri.

Pada akhirnya, quiet quitting adalah sebuah sinyal penting bagi dunia kerja bahwa era eksploitasi dan “budaya gila kerja” sudah tidak lagi relevan. Karyawan masa kini mencari lebih dari sekadar gaji; mereka mencari keseimbangan, penghargaan, dan lingkungan kerja yang manusiawi. Dengan memahami dan menanggapi sinyal ini secara bijaksana, perusahaan tidak hanya dapat mengatasi fenomena ini tetapi juga membangun fondasi untuk kesuksesan jangka panjang yang berkelanjutan.

Artikel Lainnya