Empati, kemampuan untuk menempatkan diri dalam posisi orang lain dan merasakan apa yang mereka rasakan, bukanlah sekadar sifat psikologis yang baik. Dalam ajaran Islam, empati adalah inti dari akhlak mulia, sebuah manifestasi langsung dari keimanan, dan pilar utama dalam mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam).
Empati dalam pandangan Islam adalah mutiara yang memancarkan cahaya kasih sayang melampaui batas-batas suku, agama, bahkan spesies. Ia adalah praktik nyata dari cinta yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ.
Fondasi Empati: Keimanan sebagai Satu Tubuh
Dalam Islam, empati bukanlah pilihan, melainkan syarat fundamental dari persaudaraan yang sejati. Nabi Muhammad ﷺ memberikan perumpamaan yang sangat mendalam:
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi adalah seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggotanya sakit, maka seluruh tubuh ikut merasakannya dengan tidak bisa tidur dan merasa demam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa setiap Muslim harus memiliki kepekaan batin. Rasa sakit saudara kita — entah itu rasa lapar, kesedihan, atau kesulitan — harus otomatis memicu reaksi dalam diri kita, sebagaimana telapak tangan merasakan panasnya dahi yang demam. Inilah yang menjadi dasar dari perintah Allah SWT:
$$\text{وَاَتِمُّوا الۡحَجَّ وَالۡعُمۡرَةَ لِلّٰهِ}$$
$$\text{وَتَعَاوَنُوا عَلَى الۡبِرِّ وَالتَّقۡوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الۡاِثۡمِ وَالۡعُدۡوَانِ}$$
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maida1h: 2)
Empati adalah jembatan menuju ketaatan, karena hanya dengan memahami penderitaan orang lain, kita didorong untuk berbuat kebaikan (birr) dan menolong (ta’awun).
Teladan Empati Nabi Muhammad ﷺ: Melampaui Batas
Rasulullah ﷺ adalah teladan empati yang universal. Kelembutan beliau tidak hanya ditujukan kepada sahabat dan keluarga, tetapi juga kepada orang asing, orang miskin, bahkan makhluk lain:
- Empati kepada Non-Muslim: Dikisahkan, ketika jenazah seorang Yahudi diusung melewatinya, beliau berdiri sebagai bentuk penghormatan. Ketika ditanya, beliau bersabda, “Bukankah dia juga seorang manusia?” Sikap ini mengajarkan bahwa empati melintasi sekat keyakinan; setiap jiwa manusia berhak atas penghormatan dan kasih sayang.
- Empati Kepada Anak Yatim: Rasulullah ﷺ sangat memperhatikan kondisi anak yatim, bahkan menyatakan, “Aku dan pengasuh anak yatim (kelak) di surga seperti ini,” sambil menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Ini menunjukkan bahwa menanggung penderitaan anak yatim adalah jalan tercepat menuju kedekatan dengan Allah.
- Empati kepada Hewan: Islam melarang keras perbuatan zalim terhadap hewan. Rasulullah ﷺ pernah menegur seseorang yang menyiksa seekor burung. Beliau juga bersabda: “Sayangilah yang ada di bumi, niscaya yang di langit akan menyayangimu.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi). Empati, dalam Islam, tidak berhenti pada manusia, tetapi meluas kepada seluruh ekosistem.
Empati untuk Semesta Alam (Rahmatan Lil ‘Alamin)
Konsep rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam) adalah puncak dari ajaran empati. Empati seorang Muslim harus berfungsi sebagai “sensor” moral yang mencegahnya merusak lingkungan atau menyakiti makhluk hidup lainnya:
- Menjaga Alam: Ketika seorang Muslim berempati terhadap bumi, ia akan menghindari perusakan hutan, pencemaran air, dan perilaku boros. Ia menyadari bahwa bumi juga berhak atas keberlanjutan dan bahwa kerusakan alam akan membawa penderitaan bagi generasi mendatang.
- Keadilan Sosial: Empati mendorong Muslim untuk memperjuangkan keadilan sosial. Ia merasakan kepedihan orang yang tertindas, kelaparan orang miskin, dan kesulitan orang yang terlilit utang, sehingga terdorong untuk berzakat, berinfak, dan berjuang melawan ketidakadilan.
Mewujudkan Empati dalam Aksi Nyata
Empati sejati tidak cukup hanya dirasakan di hati; ia harus diwujudkan dalam tindakan:
- Mendengarkan dengan Hati (Husus Al-Istima’): Berikan perhatian penuh tanpa menghakimi. Ini adalah bentuk empati yang paling sederhana namun sering terlupakan.
- Tawadhu’ (Rendah Hati): Hindari kesombongan. Kesombongan adalah penghalang empati, karena membuat seseorang merasa superior dan sulit memahami posisi orang lain.
- Memberikan Solusi yang Bermartabat: Berikan bantuan dengan cara yang menjaga harga diri penerima. Berilah dengan senyum dan perkataan yang baik, sebagaimana dicontohkan dalam QS. An-Nisa: 8.
Penutup
Empati dalam Islam adalah mutiara akhlak yang menerangi interaksi kita, dari kamar tidur hingga komunitas global, dari manusia hingga semesta alam. Ia adalah bukti bahwa hati yang terisi iman akan selalu bergetar karena kasih sayang. Dengan menanamkan empati, kita tidak hanya menjadi Muslim yang lebih baik, tetapi juga menjadi agen rahmat yang sesungguhnya di muka bumi


